
Menteri PKP Akan Tinjau Flat Menteng, Hunian Viral di Pusat Jakarta
Bukan Properti Biasa: Konsep Flat Menteng Jadi Sorotan Nasional
Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, dikenal sebagai simbol hunian elit dengan harga properti yang selangit. Tapi belakangan, sebuah bangunan empat lantai yang viral di media sosial justru menghadirkan narasi berbeda. Flat Menteng, namanya. Bukan apartemen mewah, melainkan hunian kolektif yang dibangun atas semangat koperasi dan solidaritas.
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait menyatakan akan meninjau langsung lokasi tersebut. Meskipun jadwalnya padat, ia menegaskan pentingnya melihat langsung inovasi seperti ini sebelum memberikan komentar lebih jauh.
“Saya mau lihat dulu baru bicara,” ujar Maruarar usai menghadiri agenda di Kementerian BUMN, Senin (14/7/2025) malam.
Flat Menteng: Hunian Kolektif Berbasis Koperasi di Wilayah Termahal Jakarta
Flat Menteng berdiri di Jalan Rembang 11, hanya 450 meter dari Stasiun KRL Sudirman dan 550 meter dari Stasiun MRT Dukuh Atas. Di sekelilingnya, rumah-rumah berharga miliaran berdiri megah. Tapi flat ini justru menawarkan alternatif dengan biaya masuk yang sangat terjangkau: mulai dari Rp 320 juta hingga Rp 640 juta, tergantung luas unitnya.
Bangunan ini memiliki 7 unit hunian seluas 40–80 m², dengan satu unit digabung menjadi 120 m². Di lantai dasarnya terdapat Toko Buku & Kafe Kobam dan kantor Rujak Center for Urban Studies, menambah nilai sosial dan kultural pada tempat ini.
Flat Menteng dirancang dan dibangun oleh Marco Kusumawijaya, arsitek dan pakar tata kota. Ia menggagas model perumahan berbasis koperasi, menyusul terbitnya Pergub DKI No. 31 Tahun 2022 yang mulai mengakui eksistensi rumah flat sebagai bentuk legal hunian multi-keluarga.
Anti Spekulasi: Hunian Sosial yang Tak Dijual di Pasar Bebas
Salah satu keunikan Flat Menteng adalah sistem anti spekulasi. Unit-unit di sini tidak diperdagangkan bebas di pasar properti. Jika ada penghuni yang hendak pindah, unit tersebut harus dikembalikan ke koperasi. Sebagai gantinya, penghuni akan menerima kembali simpanan wajib plus bunga yang mengikuti rata-rata inflasi (bukan inflasi properti).
“Jadi tujuannya bukan untuk investasi pribadi, tapi menjaga keberlanjutan hunian terjangkau di pusat kota,” jelas Marco.
Ini adalah bentuk nyata dari perumahan sosial yang tidak tunduk pada mekanisme pasar, dan sangat relevan dengan tantangan urbanisasi saat ini.
Model Pembiayaan: Gotong Royong Modern
Setiap penghuni menyetor simpanan wajib yang digunakan langsung untuk membiayai pembangunan unit, sesuai progres konstruksi. Biayanya sekitar Rp 8 juta per meter persegi, sudah termasuk desain dan izin bangunan.
Selain itu, mereka membayar sewa lahan sebesar Rp 90 juta per tahun yang dibagi sesuai luas unit, dan bisa diperpanjang hingga 70 tahun. Biaya operasional, pemeliharaan, dan kebersihan dibagi bersama.
Menariknya, tidak ada margin keuntungan, tidak ada biaya pemasaran, dan hampir seluruhnya menggunakan dana mandiri dari anggota koperasi—tanpa utang bank.
