
Perdamaian Ukraina: Putin-Trump Bertemu di Alaska
Dunia kembali menahan napas. Setelah bertahun-tahun jarang bertemu muka, dua pemimpin paling berpengaruh di panggung global, Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin, dikabarkan akan kembali duduk semeja. Bukan di gedung mewah Eropa atau istana megah, melainkan di tanah beku Alaska yang sarat simbolisme. Pertemuan yang sangat dinanti ini dijadwalkan berlangsung pada Jumat, 15 Agustus, dan fokus utamanya? Tentu saja, mencari jalan keluar dari konflik Ukraina yang tak kunjung usai.
Kabar ini pertama kali diumumkan oleh Trump sendiri melalui akun Truth Social miliknya. “Pertemuan yang sangat dinanti antara saya sebagai Presiden AS dan Presiden Vladimir Putin dari Rusia akan berlangsung Jumat depan, 15 Agustus 2025, di Negara Bagian Alaska. Detail lebih lanjut akan menyusul,” tulis Trump. Pengumuman ini bukan tanpa konteks. Ia datang pada hari yang sama ketika Trump sebelumnya menetapkan batas waktu bagi Putin untuk mengakhiri perang di Ukraina, atau bersiap menghadapi sanksi ekonomi yang jauh lebih berat. Apakah ini sinyal positif, atau hanya bagian dari strategi negosiasi yang rumit?
Mencari Solusi di Tengah Kebutuan Konflik
Pertemuan antara Trump dan Putin ini terasa seperti kilas balik ke era hubungan internasional yang lebih personal, di mana pemimpin-pemimpin besar seringkali mencoba menyelesaikan masalah melalui diplomasi langsung. Tujuh tahun tanpa pertemuan langsung, kini mereka akan berhadapan kembali di tengah ketegangan geopolitik yang memanas. Sumber-sumber Barat yang dekat dengan pejabat AS mengindikasikan bahwa inti pembicaraan adalah rencana damai yang diajukan Putin.
Rencana tersebut, yang disampaikan Putin kepada utusan khusus Trump, Steve Witkoff, dalam pertemuan di Moskow beberapa waktu lalu, kabarnya menawarkan penghentian perang dengan imbalan konsesi wilayah yang signifikan dari Kyiv. Bayangkan, Ukraina mungkin diminta menyerahkan wilayah Donbas di timur, yang sebagian besar sudah dikuasai Rusia, serta Krimea, wilayah yang dianeksasi Rusia secara ilegal pada tahun 2014. Namun, detail lebih lanjut, terutama mengenai nasib wilayah Zaporizhzhia dan Kherson yang juga sebagian dikuasai Rusia, masih menjadi misteri.
Kekhawatiran Eropa dan Optimisme Trump
Reaksi dari sejumlah pejabat Eropa terhadap rencana ini cenderung khawatir. Mereka melihatnya sebagai upaya Putin untuk menghindari sanksi berat yang dijanjikan Trump, dengan imbalan yang dianggap terlalu minim bagi Rusia. Seorang pejabat Eropa bahkan berpendapat bahwa pengakuan resmi atas wilayah yang direbut dengan kekerasan tanpa konsekuensi adalah insentif berbahaya bagi Rusia untuk melakukan agresi lebih lanjut di masa depan, bahkan mungkin serangan baru ke Ukraina dalam beberapa tahun mendatang. Kekhawatiran ini tentu beralasan, mengingat sejarah panjang konflik di wilayah tersebut.
Namun, Witkoff, utusan khusus Trump, mencoba meredakan kekhawatiran tersebut. Ia menyampaikan kepada pejabat Eropa bahwa rencana ini adalah “langkah awal yang positif”, dan bahwa rencana damai yang lebih komprehensif dapat dinegosiasikan setelah gencatan senjata tercapai. Trump sendiri tampak optimis. Sebelum mengumumkan pertemuan dengan Putin, ia sempat berujar kepada wartawan di Gedung Putih, “Para pemimpin Eropa ingin melihat perdamaian. Saya percaya Presiden Putin juga ingin perdamaian, dan Presiden Zelensky juga ingin perdamaian.” Ia menambahkan bahwa nalurinya mengatakan ada “kesempatan” untuk Perdamaian Ukraina. Optimisme ini, bagaimanapun, harus diuji dengan realitas politik yang kompleks dan seringkali tak terduga.
Hambatan Konstitusional Ukraina dan Sikap Zelensky
Di balik semua optimisme dan rencana damai, ada satu ganjalan besar: konstitusi Ukraina. Undang-Undang Dasar Ukraina secara tegas melarang pengalihan wilayah tanpa persetujuan parlemen atau referendum nasional. Ini bukan sekadar formalitas, melainkan prinsip kedaulatan yang sangat dijunjung tinggi oleh Kyiv. Bagaimana mungkin Ukraina bisa menyerahkan sebagian wilayahnya jika rakyatnya sendiri tidak setuju?