
Duit Halal DPR: Sulitnya Anggota Dewan Cari Uang Bersih
Dunia politik seringkali digambarkan dengan citra yang serba mewah dan penuh intrik. Namun, di balik itu, ada pengakuan jujur yang mungkin tak terduga datang dari seorang politikus senior. Zulfikar Arse Sadikin, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, baru-baru ini melontarkan pernyataan yang cukup mengagetkan: ia mengakui betapa sulitnya mendapatkan “duit halal” atau uang yang benar-benar bersih sebagai seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Sebuah pengakuan yang tentu saja memancing diskusi hangat tentang transparansi dan integritas di lingkaran kekuasaan.
Pengakuan Bling-Bling: Sulitnya Dapatkan Uang Halal di Senayan
Dalam sebuah forum diskusi yang digelar ICW, Arse Sadikin, yang sudah dua periode duduk di kursi DPR, secara terbuka mengungkapkan keresahannya. Ia bahkan mengakui bahwa dirinya tak selalu bisa sepenuhnya jujur kepada keluarga mengenai asal-usul setiap rupiah yang ia bawa pulang. “Jangankan di organisasi, di keluarga saja, saya pun ya enggak semuanya terus terang itu soal duit itu. Dari mana dapatnya begitu ya, yang penting istri sama anak tercukupi,” ungkap Arse, mencoba menggambarkan dilema yang ia hadapi.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa upaya untuk selalu mendapatkan uang dari cara yang “halalan toyyiban” (halal dan baik) itu adalah perjuangan yang tak pernah putus. “Walaupun itu sulit, sulit, sulit, sulit, dalam mungkin kehidupan dunia. Tapi ya kita tetap berusaha untuk tetap bertanggung jawab,” tambahnya, memberikan penekanan pada betapa beratnya tantangan ini. Pengakuan ini membuka mata kita bahwa di balik jabatan prestisius, ada pergulatan moral dan etika yang tak mudah bagi sebagian wakil rakyat.
Bukan Hanya Politikus: Akar Masalah Korupsi yang Meluas
Menariknya, Arse Sadikin tidak hanya menunjuk jari ke arah politikus semata. Menurutnya, perilaku korup atau kecenderungan untuk tidak transparan dalam urusan keuangan itu bukan monopoli Senayan. Ia mengklaim bahwa perilaku semacam ini hampir terjadi di semua sektor kehidupan. Pengalaman pribadinya sebagai aktivis mahasiswa pun menjadi bukti.
“Bahkan sejak mahasiswa itu, saya yang berasal dari aktivis selalu bilang, sejak kita menjadi mahasiswa yang aktif di intra-kampus maupun ekstra kampus, pertanggungjawaban keuangan itu enggak pernah beres itu,” kata Arse. Sebuah ironi, mengingat idealisme yang kerap diusung mahasiswa. “Itu kita bawa sampai kita bekerja itu,” imbuhnya. Pernyataan ini menyiratkan bahwa masalah integritas keuangan adalah isu sistemik yang mengakar, melintasi berbagai profesi dan tahapan hidup, bukan hanya domain politik.
Jeratan Modal dan Pinjaman: Beban Calon Anggota Dewan
Salah satu poin krusial dari pengakuan Arse adalah mengenai modal pencalonan. Sebagai anggota DPR dua periode, ia mengakui sebagian besar uang yang ia terima untuk mencalonkan diri merupakan “bantuan” dari berbagai pihak. Bahkan, ia terang-terangan mengatakan bahwa ia memiliki pinjaman yang harus ia kembalikan setelah terpilih. “Ya selama ini saya, terpilih dua periode ini dapat duitnya ini ya dapat bantuan, dari sana sini. Bahkan saya ada pinjaman yang harus saya kembalikan,” ujarnya.
Fenomena “modal politik” ini memang menjadi rahasia umum. Untuk bisa bersaing dalam kontestasi politik, seorang calon seringkali membutuhkan dana yang tidak sedikit, baik untuk sosialisasi, kampanye, hingga logistik. Tekanan untuk mencari dan mengumpulkan dana ini bisa menjadi celah bagi praktik-praktik yang kurang transparan atau bahkan koruptif. Arse mengaku tak pernah terlalu memikirkan modal awalnya karena itu bukan dari kantongnya sendiri. Setelah terpilih, fokusnya adalah mengembalikan pinjaman tersebut. “Tapi kalau modal saya enggaklah. Saya fokus saja menjadi politisi, berusaha untuk baik,” katanya, menyiratkan adanya “beban” yang harus ditanggung setelah duduk di kursi wakil rakyat.
Solusi Konkret: Pendanaan Partai Politik dari Publik
Melihat kompleksitas masalah ini, Arse Sadikin tidak hanya mengeluh, ia juga menawarkan solusi. Ia sangat mendukung usul penambahan sumber pendanaan partai politik yang berasal dari masyarakat, di samping sumber yang sudah ada dari negara maupun korporasi. Menurutnya, praktik ini bukan hal baru dan sudah diterapkan di banyak negara maju.