SuaraBrebes.-Salah satu pahlawan nasional yang layak untuk diteladani kehidupannya adalah Cut Nyak Dien. Bukan hanya cakap dan memimpin perjuangan rakyat Aceh melawan kolonial Belanda, namun juga menerapkan pendidikan yang baik sehingga menciptakan generasi yang tangguh. Pandangan demikian diyakini oleh Pamor Wicaksono SH, anggota legislatif daerah Brebes sejak 2009 ini melakukan ziarah Gunung Puyuh, Sumedang Jawa Barat, tempat persemayamam terakhir Cut Nyak Dien pada Senin (18/03/2024).
Menurutnya, “Cut Nyak Dien adalah sosok yang tangguh, teguh, dan pantang runtuh. Sepanjang hayatnya. Ia telah mengenyam pendidikan sedari kecilnya, baik itu agama ataupun selainnya. Hal tersebut tercermin dari sejarah panjang perjuangan hidupnya”.
Cut Nyak Dien, lahir di Aceh Besar pada 1838 dan mulai memimpin perjuangan rakyat aceh hingga akhirnya ditangkap militer Hindia Belanda dan diasingkan ke Sumedang pada 1907. Setahun dipengasingan, Cut Nyak Dien menghembuskan nafas terakhirnya. Pemerintah menanugerahkan gelar pahlawan nasional pada 2 Mei 1964.
Menurut Pamor Wicaksono, “berkat Cut Nyak Dien, wanita-wanita Aceh dapat berdiri setara dengan para lelaki di barisan depan. Ketika pihak militer Hindia Belanda datang ke Aceh, mereka mendapati kalangan perempuan gigih melakukan perlawanan. Wanita-wanita Aceh dianggap sangat hebat dan memegang peranan penting dalam berbagai sektor, jauh sebelum barat berbicara tentang persamaan hak yang dinamai emansipasi wanita”.
Tercatat, ia tak hanya berperang dengan mengangkat senjata, ia juga berperang melawan kebodohan dengan mengajarkan ilmu selama setahun pengasingannya di Sumedang. Padahal ia sendiri sudah kepayahan, tua, renta, dan berpenyakit, namun rasa sungguhnya tak sedikitpun surut. Hingga wafatnya ia tak pernah sekalipun menunjukkan sikap menyerah.
“Meneladani Cut Nyak Dien, kita bisa melihat bagaimana peranan wanita sangat penting dalam kehidupan ini, khususnya dalam mendidik generasi mendatang. Jika Indonesia ingin mendapatkan generasi emas pada 2045 mendatang, maka peranan wanita harus didorong dan ditingkatkan untuk mewujudkannya”, jelas politisi Partai Golkar yang kembali terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Brebes dalam pileg 2024.
“Sungguh memprihatinkan jika wanita-wanita dewasa ini kehilangan perannya. Mereka buta terhadap tingginya harga diri mereka, abai terhadap pendidikan mereka, serta tenggelam dalam arus hedonisme, konsumerisme ataupun nilai-nilai kebarat-baratan yang acapkali tidak sesuai dengan budaya kita. Sesuatu yang dahulu diperangi oleh Cut Nyak Dhien. Alih-alih memeranginya, mereka justru memilih bersungguh-sungguh dalam mengikutinya. Maka, alih-alih diharapkan melahirkan singa-singa yang membanggakan, dikhawatirkan mereka justru melahirkan anak-anak keledai yang mempermalukan bangsa”, tegasnya.
Bagi Pamor Wicaksono, meneladani Cut Nyak Dien bukan hanya tentang romantisme atau semangat perjuangan, tetapi juga tentang dedikasi untuk membebaskan bangsa dari penjajahan moral dan kemiskinan. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya pendidikan dalam perjuangan modern ini, di mana pena dan ujung jari telah menggantikan rencong dan pedang-pedang.
Teladan yang didapatkan dari sosok Cut Nyak Dhien, menurutnya tidak hanya soal nama dan romantisme dengan suaminya, juga bukan hanya soal semangat perjuangan dan lenturnya lidah dalam berorasi. Tapi lebih jauh lagi, meniru Cut Nyak Dhien berarti mendedikasikan usia untuk perjuangan membebaskan bangsa dari penjajahan dimana saat ini kita terjajah secara moral dan kemiskinan.
“Oleh sebab itu, perlu aktualisasi spirit perjuangan Cut Nyak Dhien dalam tindakan nyata dimulai dari diri sendiri. Di antaranya adalah dengan mempersiapkan diri guna menyongsong kehidupan bermasyarakat ke depannya, dengan langkah-langkah yang sederhana; seperti belajar tekun dalam ilmu agama dan ilmu dunia”. Pungkas Pamor Wicaksono.
Kemudian setelah terdidik, para wanita harus teguh di atas pendiriannya sebagaimana teguhnya Cut Nyak Dhien dahulu. Bahwa kita dengan etika ketimuran yang kita miliki sudah sangat mencukupi. Karenanya, jangan goyah dan tertipu dengan nilai-nilai sekuler dan liberal yang dibawa oleh orang lain. Keteguhan itu harus dipertahankan meskipun dinginnya bilah kelewang menyentuh leher-leher kita.
Setelah terdidik, para wanita juga harus mampu mendidik generasi penerus, minimalnya anak mereka sendiri. Tentu tak patut jika anak sendiri harus mereguk ‘asi’ mendasar tentang agama dari orang lain. Peran sebagai madrasatul ula harus dioptimalkan dengan baik oleh para wanita. Jika tidak, peran madrasatul ula justru akan diisi dengan sangat baik oleh gawai-gawai yang beragam mereknya dan layar-layar televisi analog, yang semakin kesini keragaman isinya justru semakin buruk.
Maka, perjuangan pendidikan merupakan perjuangan yang sangat penting. Terlebih hari-hari ini, kita tak mungkin lagi mengangkat rencong dan pedang-pedang untuk menusuk jantung lawan. Peran rencong dan pedang-pedang sudah tergantikan oleh pena-pena dan ujung jari. Adapun untuk menggerakkan pena-pena dan ujung jari dengan baik dan benar, sangat dibutuhkan pentunjuk yang hanya dapat digapai melalui pendidikan.
Pada akhirnya, hadirnya wanita-wanita terdidik yang teguh di atas pendiriannya merupakan wujud dari hidupnya spirit Cut Nyak Dhien. Sebaliknya, terbelakang dan hilangnya harga diri wanita merupakan sikap abai terhadap perjuangan Cut Nyak Dhien, tak ada nilai yang ditinggalkan selain nama yang harum. Tentu, sebagai penerus Cut Nyak Dhien yang mulia, tak mungkin kan kita akan membuat nama itu malu?***(Sumber)