
Pertemuan Rahasia Soeharto dan PM Israel: Ketegangan di Lift Waldorf Towers
Satu Malam, Dua Presiden, dan Banyak Senjata
Sejarah – New York, 22 Oktober 1995. Di lantai 41 Hotel Waldorf Towers yang mewah, Presiden Kedua Republik Indonesia Soeharto tengah menerima Presiden Sri Lanka dalam sebuah pertemuan bilateral.
Tanpa banyak diketahui media kala itu, sosok penting lain sudah menanti di lobi hotel—Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin.
Rabin tidak datang dalam jadwal resmi. Tidak ada undangan dari Indonesia. Tidak pula diagendakan oleh protokol. Tapi ia datang dengan satu misi: bertemu dengan Presiden Soeharto, pemimpin negara besar yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan punya pengaruh kuat dalam isu Timur Tengah.
Soeharto, dengan ketenangan khasnya, tidak buru-buru mengubah jadwal. Rabin, walau kepala pemerintahan sebuah negara yang terus mencari pengakuan diplomatik dari dunia Islam, diminta menunggu. Dan ia menunggu cukup lama.
Menunggu 30 Menit, Menahan Ego Seorang Perdana Menteri
Rabin datang 15 menit lebih awal dari jadwal yang dijanjikan, pukul 17.45 waktu setempat. Tapi karena Soeharto masih menjamu Presiden Sri Lanka, ia baru bisa naik ke lantai 41 pukul 18.30.
Bagi diplomat, menunggu adalah bagian dari permainan. Tapi bagi seorang kepala pemerintahan dengan 25 pengawal Mossad, yang membawa dendam historis dan paranoia eksistensial, penantian ini lebih dari sekadar urusan waktu—ini soal harga diri dan keamanan.
Dan kemudian, ketegangan benar-benar terjadi.
Uzi vs Barreta: Duel Senyap di Dalam Lift
Saat hendak naik lift menuju lantai 41, empat pengawal pribadi Rabin—termasuk Kepala Mossad—menolak kehadiran seorang pengawal Indonesia yang sudah dikenalkan sebagai bagian dari tim pengamanan resmi.
Terjadi adu mulut. Dalam sekejap, salah satu agen Mossad mengeluarkan senapan otomatis Uzi dari balik jasnya dan menempelkannya ke perut pengawal Indonesia. Tangannya mencengkeram leher sang lawan dengan gerakan cepat, khas pasukan elite.
Tapi pengawal Indonesia itu bukan orang biasa. Ia adalah Letkol Sjafrie Sjamsoeddin, anggota Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres), yang kelak menjadi Menteri Pertahanan Republik Indonesia.
Dengan reaksi secepat kilat, Sjafrie mencabut pistol Barreta dari balik jasnya dan menodongkan ke perut agen Mossad.
Ketegangan menembus udara sempit dalam lift itu. Masing-masing menunggu satu sama lain menarik pelatuk.
Akhirnya, sang agen Mossad menurunkan senjatanya perlahan. Dengan suara lirih ia berkata: