
Rp12.500 per Meter: Ketika Lahan Sultan Disewakan untuk Tol Selama 40 Tahun
Politik Tanah dan Monarki di Era Modern
Yang membuat isu ini semakin kompleks adalah status Sultan Ground itu sendiri. Di Yogyakarta, tanah Sultan Ground memiliki status hukum dan politik yang istimewa. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki hak milik eksklusif yang diakui melalui UU Keistimewaan DIY, dan wewenang atas tanah tersebut berada langsung di bawah Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Dengan kata lain, meski lahan ini digunakan untuk proyek publik, pengelolaan dan penyewaan dilakukan melalui Keraton, bukan BPN. Dalam kerja sama dengan BUJT dan Kementerian PUPR, Keraton memiliki peran sebagai tuan tanah yang menyewakan aset miliknya untuk pembangunan infrastruktur nasional.
Apakah ini salah? Tidak otomatis. Tapi tentu saja ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana mekanisme transparansi, siapa yang mengaudit penggunaan dana sewa, dan apakah masyarakat di sekitar mendapatkan manfaat langsung?
Investasi Negara, Tapi Lahan Raja
Pola pembangunan tol yang tidak seluruhnya membeli tanah — melainkan menyewa sebagian — adalah hal yang wajar dalam proyek infrastruktur jangka panjang. Namun ketika yang disewa adalah tanah milik kerajaan, dan disewa dengan harga sangat murah, muncullah kritik sosial dan politik.
Bukan hanya soal siapa mendapat uang sewa, tetapi juga soal keberpihakan pembangunan. Apakah rakyat di sekitar lahan mendapat ganti rugi atau manfaat sepadan? Ataukah mereka hanya menjadi penonton di tengah proyek yang menyewa tanah raja untuk jalan pengusaha?
Lebih lanjut, ketika biaya murah tanah dimasukkan ke struktur investasi, publik patut bertanya: mengapa tarif tol nantinya tetap mahal? Bukankah seharusnya biaya yang efisien menghasilkan tarif yang terjangkau?
Infrastruktur yang Adil atau Sekadar Efisien?
Kisah tanah Sultan Ground yang disewakan murah untuk proyek tol ini adalah pengingat bahwa infrastruktur bukan hanya urusan beton dan jalan, tapi juga tentang siapa yang memiliki, siapa yang membayar, dan siapa yang akhirnya diuntungkan.
Dalam hal ini, pembangunan infrastruktur melibatkan pihak kerajaan, investor swasta, dan pemerintah. Tapi apakah rakyat — yang menjadi pengguna dan yang tanahnya mungkin terkena dampak — ikut mendapatkan bagian manfaat yang sepadan?
Infrastruktur mestinya dibangun tidak hanya efisien secara anggaran, tetapi juga adil dalam distribusi manfaatnya. Dan itulah pertanyaan penting yang perlu terus diajukan setiap kali jalan tol dibuka — apalagi jika di atas tanah raja.