
Fenomena Joki Strava: Remaja Raup Cuan dari Tren Lari di Tengah Kota
Lari, Gaya Hidup Baru yang Jadi Peluang
Olahraga lari bukan sekadar rutinitas menjaga kebugaran. Dalam beberapa tahun terakhir, lari telah menjelma menjadi bagian dari gaya hidup, khususnya di kalangan masyarakat urban dan Gen Z. Aplikasi seperti Strava, yang mencatat data jarak dan kecepatan lari, membuat aktivitas ini semakin kompetitif dan… “terlihat”.
Namun di balik semangat kebugaran, muncul satu fenomena tak terduga: jasa joki Strava. Dan Jason (16), seorang pelajar dari Jakarta Barat, adalah salah satu pelaku fenomena ini.
Kenalan dengan Jason, Remaja Joki Strava dari Jakarta Barat
Saat ditemui sedang beristirahat di trotoar dekat Bundaran HI, Jason baru saja menyelesaikan “tugasnya”. Bukan tugas sekolah, tapi tugas berlari sejauh 5 kilometer atas nama temannya—lengkap dengan target kecepatan alias pace yang harus dicapai.
“Temanku minta lari 5 kilometer dengan pace 6. Jadi ya aku lariin, pakai handphone dia, biar ke-record di Strava,” jelas Jason.
Bagi yang belum familiar, pace adalah ukuran seberapa cepat seseorang berlari, dihitung berdasarkan menit per kilometer. Jadi, pace 6 artinya menempuh satu kilometer dalam enam menit. Semakin rendah pace, semakin cepat larinya—dan juga semakin sulit.
Jasa Lari Berbayar: Dari Rp 50.000 sampai Rp 300.000
Jason mengaku tidak mematok tarif tetap. Harga tergantung jarak dan tingkat kesulitan pace yang diminta. Semakin cepat pace-nya, semakin mahal bayarnya.
“Kalau minta pace empat, itu capek banget. Bisa sampai Rp 300 ribu buat lima kilometer. Tapi kalau santai-santai ya sekitar Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu,” ungkapnya.
Menariknya, Jason tidak menerima banyak permintaan sekaligus. Maksimal dua pelanggan per minggu, itupun kalau waktunya memungkinkan. Ia tetap mengutamakan sekolah.