
Royalti Suara Burung: Kafe & Hotel Wajib Bayar?
Pernahkah Anda menikmati kopi hangat di kafe favorit, ditemani alunan merdu kicauan burung yang menenangkan? Atau mungkin saat menginap di hotel, suara gemericik air dan kicau burung justru menjadi teman istirahat Anda? Suasana damai seperti itu memang bikin betah, memberikan nuansa alami yang jauh dari hiruk pikuk kota. Tak heran jika banyak pelaku usaha kini beralih ke ‘musik’ alam untuk menciptakan ambience yang khas dan menenangkan bagi para pelanggannya.
Namun, tahukah Anda, di balik ketenangan suara alam buatan ini, ada potensi kewajiban royalti yang harus dibayarkan? Ya, Anda tidak salah dengar. Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) baru-baru ini mempertegas bahwa pemutaran rekaman suara burung di ruang publik komersial, seperti kafe dan hotel, ternyata bisa kena royalti. Kok bisa? Mari kita selami lebih dalam penjelasan dari pihak berwenang.
Mengapa Suara Burung Bisa Kena Royalti?
Komisioner LMKN, Dedy Kurniadi, menjelaskan bahwa kewajiban royalti ini muncul bukan karena suara burung itu sendiri adalah sebuah ‘karya cipta’ dalam artian lagu atau musik. Melainkan, karena di balik rekaman suara tersebut ada ‘pemegang hak terkait’ atau produser yang telah melakukan upaya untuk merekam, mengolah, dan mendistribusikannya secara komersial. “Dikenakan royalti karena ada pemegang hak terkait karya rekaman suara itu,” tegas Dedy usai acara pelantikan Komisioner LMKN periode 2025–2028 di Jakarta, Jumat (8/8).
Artinya, jika rekaman suara burung yang Anda dengar di sebuah kafe itu bukan sekadar suara burung liar yang direkam asal-asalan, melainkan produk dari sebuah studio rekaman atau individu/perusahaan yang sengaja memproduksi dan menjualnya untuk penggunaan komersial, maka ada hak kekayaan intelektual di dalamnya. Sama halnya seperti Anda memutar lagu band ternama; ada pencipta, musisi, penyanyi, dan juga produser rekaman yang berhak mendapatkan bagian.
Dari Musik ke Alam, Demi Kesejahteraan Kreator
Belakangan, fenomena kafe atau hotel yang beralih dari memutar musik populer ke suara alam atau suara burung memang sedang tren. Mungkin ada yang mengira ini sebagai ‘jalan tikus’ untuk menghindari bayar royalti musik. Namun, menurut Dedy, justru ini sejalan dengan upaya LMKN untuk meningkatkan penarikan royalti demi kesejahteraan para pencipta lagu dan pemegang hak terkait lainnya. LMKN sebagai lembaga yang ditunjuk pemerintah bertugas mengelola hak ekonomi para pencipta dan pemegang hak terkait atas penggunaan karya cipta mereka.
“Siapa masyarakat Indonesia yang tidak ingin penciptanya sejahtera? Itu kuncinya,” ujar Dedy. Beliau menambahkan bahwa selama ini banyak dari kita menikmati karya cipta, baik dari dalam maupun luar negeri, tanpa menyadari kewajiban untuk menghargai pemiliknya. LMKN hadir untuk melindungi hak-hak mereka melalui penegakan hukum ini, memastikan bahwa setiap penggunaan komersial dari sebuah karya, termasuk rekaman suara, mendapatkan kompensasi yang layak bagi pemilik haknya.
Edukasi Hak Cipta dan Perbandingan dengan Negara Lain
Dedy juga menyoroti masih rendahnya kesadaran masyarakat Indonesia dalam membayar royalti. Angka ini cukup mencengangkan. Bayangkan, total royalti musik yang terkumpul di Indonesia hanya sekitar Rp75 miliar. Angka ini sangat timpang jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia yang bisa mencapai Rp600 miliar, atau negara lain yang bahkan menembus angka Rp1 triliun.