Kalau Lelah Itu Manusiawi, Kenapa Kita Takut Jujur?

Kalau Lelah Itu Manusiawi, Kenapa Kita Takut Jujur?

Mental Health – Di luar kita terlihat kuat. Bisa kerja, bisa ketawa, bisa posting meme. Tapi di dalam, ada rasa capek yang susah dijelaskan. Bukan sekadar letih fisik — ini soal lelah mental. Dan sering kali, kita nggak tahu harus cerita ke siapa.

Kuat Itu Jadi Standar, Bukan Pilihan

Di zaman ini, apalagi buat Gen Z dan Gen X, kata “kuat” jadi standar sosial. Kalau kamu bisa tetap produktif meski sedang galau, kamu dianggap hebat. Kalau kamu menangis dan minta waktu sendiri, kamu dianggap lemah.

“Padahal aku cuma pengin istirahat. Tapi kalau aku berhenti sebentar, orang kira aku nyerah.”

Kita hidup di era kecepatan — semuanya serba buru-buru. Mau sedih harus cepat selesai. Mau trauma harus cepat pulih. Padahal tidak semua luka bisa sembuh dalam hitungan hari.

Terjebak Ekspektasi Jadi ‘Resilien’

Gen Z hidup di tengah kampanye self-care dan toxic positivity. Mereka tahu pentingnya mental health, tapi sering merasa gagal kalau nggak bisa terus strong.

Setiap hari mereka menyerap informasi, motivasi, dan tekanan dari media sosial. Dari luar, Gen Z tampak aware dan vokal. Tapi dalam diam, banyak dari mereka yang cuma berpura-pura baik-baik saja.

Terlatih Menyembunyikan Luka

Sementara Gen X dibesarkan dengan budaya “jangan ngeluh”. Mereka ahli menyembunyikan rasa sakit. Ketika capek, mereka bilang, “nggak papa”. Ketika hancur, mereka tetap kerja seperti biasa.

Baca Juga  Menemukan Diri di Usia 40: Saatnya Merangkul Perubahan dengan Bijak
1
2
CATEGORIES
TAGS
Share This

COMMENTS

Wordpress (0)
Disqus ( )