Power Morph: Ketika Kekuasaan Politik Tak Lagi Diatur Parlemen, Tapi Oleh Jempol Netizen

Power Morph: Ketika Kekuasaan Politik Tak Lagi Diatur Parlemen, Tapi Oleh Jempol Netizen

Politik – Dunia politik tengah mengalami perubahan besar. Jika dulu kekuasaan lahir dari institusi, parlemen, dan regulasi, kini kekuasaan justru muncul dari tempat yang tak terduga—linimasa media sosial, viralitas video pendek, hingga kekuatan satu jempol netizen. Inilah yang disebut oleh seorang pengamat sebagai fenomena “Power Morph”, atau pergeseran bentuk kuasa di era digital.

Power Morph menggambarkan bagaimana kekuasaan hari ini lebih dipengaruhi oleh resonansi emosi, bukan lagi argumen rasional atau data ilmiah. Emosi kolektif menjadi komoditas baru yang menentukan siapa yang didengar, siapa yang dipercaya, dan siapa yang memimpin.

Bukan Lagi Soal Benar atau Salah, Tapi Soal Viral atau Tidak

Dulu, kekuatan politik erat kaitannya dengan ideologi, partai, dan kebijakan. Sekarang, siapa yang bisa menyentuh hati publik lewat narasi menyentuh—dialah yang berpotensi menguasai panggung politik.

Lihat saja para tokoh seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, hingga Dedi Mulyadi. Mereka populer bukan karena detail program kerja, tapi karena video blusukan, momen haru bersama warga, atau pidato yang viral di TikTok dan Instagram.

Tak jauh berbeda di luar negeri. Donald Trump, misalnya, memenangkan banyak simpati publik bukan karena kebijakan ekonominya yang kuat, tapi karena gaya bicaranya yang emosional dan sering menyulut perhatian media.

Kebenaran dan data menjadi kalah pamor oleh cuplikan-cuplikan emosional yang menyentuh hati netizen.

Fictocracy: Ketika Kekuasaan Berdiri di Atas Narasi, Bukan Data

Fenomena ini melahirkan istilah baru yang disebut “fictocracy”—pemerintahan yang dibangun di atas narasi emosional. Istilah ini menggabungkan kata “fiction” (fiksi) dan “democracy” (demokrasi), menggambarkan betapa kuatnya pengaruh narasi dalam membentuk persepsi publik.

Dalam fictocracy, simbol dan cerita menggantikan prosedur formal. Tokoh politik tidak perlu menjelaskan regulasi atau angka statistik. Cukup hadir sebagai sosok yang “peduli” dan “mengerti” rakyat melalui video yang menyentuh, maka mereka bisa jadi pahlawan digital.

Baca Juga  Iran Serang Pangkalan AS di Qatar, Ketegangan Timur Tengah Masuki Lembaran Baru

Sosiolog menyebut ini sebagai era di mana citra mengalahkan isi. Mereka yang piawai memainkan emosi publik akan lebih mudah menduduki posisi kekuasaan.

Nodicentrism: Platform Digital Jadi Pusat Kekuasaan Baru

Perubahan ini diperkuat oleh fenomena yang disebut “nodicentrism”, yaitu kondisi di mana simpul digital (node) seperti TikTok, Instagram, YouTube, hingga X menjadi pusat kekuasaan baru.

Kita mungkin masih punya undang-undang, pemilu, dan lembaga negara. Tapi jangan lupa, algoritma media sosial bisa mengangkat atau mengubur sebuah isu dalam hitungan jam. Satu konten bisa “diboosting” ke jutaan orang, sementara kritik penting bisa “disembunyikan” lewat shadow banning.

Dengan kata lain, kekuasaan kini tidak lagi hanya di tangan negara. Platform digital punya kendali yang sangat besar dalam menentukan opini publik.

1
2
CATEGORIES
TAGS
Share This

COMMENTS

Wordpress (0)
Disqus ( )