
Rokok Makin Mahal, Pekerja Mulai Gelisah: Ancaman PHK Bayangi Industri Tembakau
Dampak Riil: PHK, Penurunan Serapan Tembakau, dan Produksi Tertahan
Efek domino dari kebijakan fiskal yang dianggap agresif ini mulai dirasakan oleh para petani dan pekerja di daerah. Di Temanggung, misalnya, Bupati Agus Setyawan mengungkapkan bahwa produsen besar seperti Gudang Garam dan Djarum telah mengurangi pembelian bahan baku tembakau secara drastis.
“Gudang Garam bahkan tahun ini sudah tidak bisa menyerap tembakau dari Temanggung lagi. Ini sangat memukul petani kami,” kata Agus. Padahal, dari total hasil panen tembakau di Temanggung yang mencapai 10.000–11.000 ton per tahun, Gudang Garam biasanya menyerap hingga 8.000 ton. Djarum sendiri juga telah memangkas pembelian hingga hanya 4.000 ton. Produsen lain seperti Nojorono di Kudus pun mengalami penurunan serapan yang sama.
Sudarto menegaskan bahwa jika situasi ini dibiarkan berlarut-larut, sektor IHT yang selama ini dikenal sebagai industri padat karya bisa kolaps. “Daya beli stagnan, PHK terjadi di mana-mana, harga rokok mahal, tapi yang ilegal tetap jalan. Ini tidak adil,” tegasnya.
Mempertanyakan Arah Kebijakan
Faktanya, sektor ini selama bertahun-tahun menjadi penyangga penting perekonomian nasional. Industri rokok tak hanya menyumbang pajak dan cukai dalam jumlah besar, tetapi juga menyerap jutaan tenaga kerja dari hulu ke hilir—dari petani tembakau hingga buruh pabrik.
Kekhawatiran Sudarto dan para pekerja ini bukan sekadar keluhan. Mereka sedang memperjuangkan kelangsungan hidup jutaan orang yang bergantung pada industri yang kini mulai kehilangan nafas. Di tengah sorotan publik dan tekanan regulasi, para pekerja ini hanya berharap agar kebijakan yang diambil tidak membunuh yang patuh, dan justru memberi celah bagi yang ilegal untuk tumbuh lebih liar.