
Tinggal di Menteng dengan Rp700 Juta? Ini Kisah Nyata Rumah Flat Koperasi
“Tentunya hidup saya jauh lebih berkualitas di sini,” ujar Imanuel, seorang pengacara berusia 32 tahun.
Sebelum tinggal di rumah flat, Imanuel menjalani hidup khas para perantau di Jakarta: ngekos 3×4 meter bersama teman, perjalanan harian 1 jam lebih, dan stres karena kemacetan dan polusi.
Setelah menikah, dia sempat tinggal di apartemen di Jakarta Timur. Tapi jarak dan waktu tempuh yang bertambah justru memperparah kualitas hidupnya.
Hingga suatu hari, rekan kerjanya menawarkan ide rumah flat koperasi. Imanuel langsung menerima ajakan tersebut.
Membangun Hunian, Membangun Komunitas
Proyek ini bukan hanya tentang tempat tinggal, tapi juga tentang membangun komunitas.
Setiap unit memang dimiliki secara pribadi, tapi pengelolaan bangunan dilakukan secara kolektif. Pengambilan keputusan bersifat demokratis: mulai dari aturan pemanfaatan ruang bersama, hingga siapa yang boleh menyewa unit.
Tidak ada ruang untuk spekulan. Unit tidak bisa dijual kembali di atas batas harga tertentu. Tujuannya jelas: rumah ini bukan komoditas, tapi ruang hidup.
Proyek ini menjadi cerminan cara baru warga kelas menengah menghadapi krisis hunian. Dengan gotong-royong dan pendekatan koperatif, mereka menciptakan sistem alternatif yang lebih manusiawi.
Apakah Ini Solusi untuk Krisis Hunian Jakarta?
Dengan kebutuhan hunian yang terus meningkat dan harga properti yang terus meroket, terutama di pusat kota, rumah flat koperasi bisa menjadi model baru.
Masalahnya tentu ada: legalitas lahan, resistensi pasar, dan tantangan birokrasi. Namun keberhasilan rumah flat di Menteng menunjukkan bahwa model ini mungkin dan layak direplikasi.
Kini, skema serupa kabarnya akan dibangun di beberapa titik lain di Jakarta. Bila didukung kebijakan publik dan regulasi yang berpihak, rumah flat koperasi bisa menjadi senjata baru dalam menjawab ketimpangan perumahan kota besar.
Kesimpulan: Hunian sebagai Hak, Bukan Komoditas
Proyek rumah flat Menteng adalah bukti bahwa perubahan bisa dimulai dari bawah. Ia bukan hanya soal tempat tinggal, tapi tentang merebut kembali hak warga kota untuk hidup layak di ruang kota yang selama ini dikuasai segelintir elite dan spekulan.
Dengan skema koperasi, warga kelas menengah menemukan celah untuk memiliki hunian yang tidak hanya layak secara fisik, tetapi juga layak secara sosial, ekologis, dan ekonomis.
Dan yang lebih penting, mereka menunjukkan bahwa mimpi tinggal di Menteng, bagi sebagian orang, bukan lagi mimpi yang mustahil.